Judulnya keren gak? Ehehehehe mungkin biasa saja. Kalimat itu muncul saat memikirkan hal apa yang paling menggambarkanmu, dan bertemulah aku dengan "Angin di Bulan September".
Kamu seperti angin yang bebas pergi kemana saja dan tidak terikat oleh apapun. Kebetulan juga itu ada hubungannya denganmu yang berasal dari kampung halaman Archon Anemo.
Sementara September adalah bulan dimana kita bertemu dan juga berpisah. Lalu cuaca di September sangat nyaman bukan? Tidak terlalu panas ataupun dingin. Suasana yang memberikan kenyamanan, seperti saat menghabiskan waktu denganmu.
Aku terlalu pengecut untuk menyampaikan perpisahan secara langsung, jadi izinkan aku untuk menyampaikannya di sini. Lagi pula ini adalah tempat teramanku. Ya walaupun sama saja, tidak akan sampai padamu.
Waktu yang kita habiskan sangat menyenangkan, bahkan jika diberi kesempatan aku ingin sekali lagi mengobrol denganmu. Jadi lewat tulisan ini, aku ingin mengabadikan takdir singkat kita.
Kesan pertamaku tentangmu adalah, "Wah keren sekali, aku ingin mengobrol dengannya." Jujur aku sangat canggung, rasanya bingung harus apa.
Untungnya, kamu mahir mencairkan suasana. Aku mulai merasa nyaman ketika kita mulai mengobrol tentang tebak-tebakan. Sangat lucu melihat reaksimu yang serius itu.
Aku pikir itu akan menjadi obrolan terakhir kita. Sudah cukup rasanya ditemani oleh dirimu. "Sayonara," kalimat terakhirku, yang berniat tak akan menemuimu lagi.
Siapa sangka, kamu justru mengucapkan kalimat ajaib yang membuatku ingin mengobrol denganmu lagi. "Until we meet again, Juna." Mungkin terdengar sepele, tapi bagiku tidak.
Berulang kali memikirkan apakah aku harus kembali berbicara atau tidak, hingga akhirnya aku memutuskan untuk kembali menemuimu....
Menunggu hari dimana kita akan bertemu kembali adalah hal yang menyenangkan. Jantungku berdebar, memilih lelucon apa yang akan aku lontarkan.
Begitu tiba harinya, kebahagianku memuncak. Kamu kembali menyapaku. Mungkin terdengar berlebihan, tapi momen dimana kita mengobrol adalah salah satu waktu terbaikku di tahun ini.
Aku sangat menyukai bagaimana caramu mendengarkan setiap celotehan yang keluar dari mulutku. Sikapmu yang serius justru membuatmu semakin lucu.
Setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan bukan? Tak peduli seberapa indahnya waktu yang kita habiskan tetap saja ada batasnya.
Aku menyesal baru mengenalmu kala itu. Andai saja aku bisa bertemu denganmu lebih awal, mungkin aku punya lebih banyak kesempatan mengobrol denganmu.
Hari berganti, kita kembali berpisah. Di ujung kegelisahku, kamu berjanji akan kembali di tempat yang sama. Jadi aku menunggumu... sambil menyiapkan banyak hal. Namun ternyata Tuhan punya rencana lain. Kamu kembali menyapa sekaligus berpamitan....
Bak tersambar petir di siang bolong, kamu pergi sambil mengatakan bahwa sudah menemukan rumah baru. Kamu tak akan lagi berada di tempat sebelumnya...
Pupus sudah harapan ingin berbagi kue denganmu, berkeliling di Teyvat, dan juga lelucon yang sudah kusiapkan. Semua hilang diterbangkan angin.
Jujur, aku sangat iri dengan siapun dia. Betapa beruntungnya bisa memilikimu seutuhnya. Walau begitu, aku tetap mendukungmu.
Sepertinya aku memang bodoh, di saat hati ini sakit, masih sempatnya aku memikirkan betapa kerennya kamu saat mengumumkan hal itu.
Tak banyak yang bisa dilakukan, hanya pasrah menerima kenyataan bahwa kita sudah berada di ujung cerita.
Halaman terakhir ini hanya bisa dituliskan oleh diriku sendiri. Tenang, ini bukan sumpah serapah karena patah hati, melainkan doa kecil untuk kisahmu selanjutnya.
Aku berharap kamu selalu dalam keadaan sehat. Semoga di saat kamu mengalami kesedihan, akan selalu ada hal baik yang menghiburmu. Selamat sudah menemukan rumahmu. Aku mendukung dan mendoakan kebahagiaanmu.
Terima kasih sudah hadir dan memberikan warna merah muda di lembaran hidupku yang abu-abu. Ini sangat manis. Aku paham kenapa pertemuan kita sangat singkat, karena begitulah yang ditulis Sang Kuasa. Terima kasih.
May the wind bless your travels, Arthur.
Post a Comment